Traditional Knowledge dan Upaya Perlindungannya di Indonesia

Potensi Indonesia akan Traditional Knowledge

Traditional knowledge (pengetahuan tradisional) merupakan masalah hukum baru dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang berkembang baik di tingkat nasional maupun internasional, termasuk World Intelectual Property Organization (WIPO). Pengetahuan tradisional diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh suatu komunitas, masyarakat atau suku bangsa tertentu yang bersifat turun temurun dan terus berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan (Agus Sardjono, 2006: 1). Pengetahuan tradisional telah muncul menjadi masalah hukum baru disebabkan belum ada instrumen hukum domestik yang mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap pengetahuan tradisional yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab (Budi Agus Riswandi, M Syamsudin, 2005: 25). Di samping itu, di tingkat internasional pengetahuan tradisional ini belum menjadi suatu kesepakatan internasional untuk memberikan perlindungan hukum. Pengaturan hak kekayaan intelektual yang terdapat dalam Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), saat ini juga masih belum bisa  optimal mengakomodasi kekayaan intelekual masyarakat asli/tradisional.

Pemberian perlindungan bagi pengetahuan tradisional menjadi penting ketika dihadapkan pada karakteristik dan keunikan yang dimilikinya. Ada beberapa alasan perlunya dikembangkannya perlindungan bagi pengetahuan tradisional, diantaranya adalah adanya pertimbangan keadilan, konservasi, pemeliharaan budaya dan praktek tradisi, pencegahan perampasan oleh pihak-pihak yang tidak berhak terhadap komponen-komponen pengetahuan tradisional dan pengembangan penggunaan kepentingan pengetahuan tradisional (Muhammad Djumhana, 2006:56). Perlindungan terhadap pengetahuan tradisional berperan positif memberikan dukungan kepada komunitas masyarakat tersebut dalam melestarikan tradisinya.

Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan sumber daya hayati (biodiversity) terbesar kedua setelah Brasil dan memiliki kekayaan pengetahuan tradisional di bidang obat-obatan yang sangat beragam. Dari segi ekosistem Indonesia memiliki 42 eksositem dengan kelimpahan keanekaragaman hayati yang luar biasa dari mulai padang es dan padang rumput pegunungan di Irian Jaya hingga di berbagai hutan hujan dataran rendah di Kalimantan. Pengetahun tradisional Indonesia tersebut apabila dikembangkan terus dan dijamin perlindungan hukumnya maka akan mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi yang tentunya akan mendorong peningkatan perekonomian di Indonesia. Hal ini menjadi peluang yang sangat bagus bagi Indonesia untuk memanfaatkan nilai potensial dari traditional knowledge tersebut yang sudah ditunjukkan melalui berbagai proses misappropriation oleh perusahaan-perusahaan asing.

 

Upaya Perlindungan Traditional Knowledge dalam Sistem HKI

Di Indonesia, perlindungan hukum terhadap traditional knowledge, jika dilihat dari kesatuan perundang-undangan tentang HKI hanya terdapat 2 undang-undang yang secara ekspilisit mupun tidak langsung menyebutkan mengenai pengetahuan tradisional, yaitu: 1. Undang-Undang Hak Cipta yaitu UU No 19 tahun 2002, Pasal 10 yang menyatakan bahwa: (1) Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan pra sejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya. (2) a) Hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya dipelihara dan dilindungi oleh negara;
b) Negara memegang hak cipta atas ciptaan tersebut pada ayat (2)a terhadap luar negeri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh negara sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

2. Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman/PVT (UU No. 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman) yaitu terdapat di Pasal 7 yang menyebutkan sebagai berikut: Varietas lokal milik masyarakat dikuasai oleh negara, Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah berkewajiban memberikan penamaan terhadap varietas lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketentuan penamaan, pendaftaran, dan penggunaan varietas lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta instansi yang diberi tugas untuk melaksanakannya, diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.

Perlindungan terhadap pengetahuan tradisional di Indonesia juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan selain undang-undang HAKI. Dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1994 tentang ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biodiversity/ UNCBD), Pasal 8 j UNCBD, menyebutkan bahwa pihak penandatangan konvensi wajib menghormati, melindungi, dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik-praktik masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan gaya hidup yang berciri tradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan, inovasi dan praktik-praktik tersebut semacam itu dan mendorong pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktek semacam itu.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa pengaturan dalam sistem HKI di Indonesia minim sekali yang menyinggung permasalahan pengetahuan tradisional. Ketiga perundang-undangan diatas yang secara eksplisit maupun implisit menyebut tentang pengetahuan tradisional tidaklah cukup akomodir untuk melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat lokal pemilik pengetahuan tradisional. Pasal-pasal dari ketiga perundang-undangan tersebut terlalu abstrak dalam pelaksanaannya sehingga membutuhkan peraturan pelaksanaan yang lebih konkret atau suatu UU khusus yang mengaturnya.

 

Alternatif Perlindungan Traditional Knowledge di Indonesia

 

Dalam wacana atau diskusi hukum, masalah perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan biasanya dikaitkan dengan sistem perlindungan hak atas kekayaan intelektual. Dalam forum internasional, wacana perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan dibicarakan dalam pertemuan antar Pemerintah negara-negara anggota WIPO (WIPO Intergovernmental Committee on Intellectual Properly Rights and Genetic Resources, Traditionaol Knowledge and Folklore/IGC-GRTKF). Sampai dengan pertemuan sesi ke sepuluh dari IGC-GRTKF (2007), belum ada kata sepakat tentang sistem atau rezim perlindungan yang tepat bagi pengetahuan tradisional dan folklore. Beberapa pihak mengusulkan penggunaan rezim HKI, beberapa pihak lainnya menganggap rezim HKI kurang tepat.

Agus Sardjono, dalam buku yang diangkat dari disertasinya, “Pengetahuan Tradisional, Studi Mengenai HKI Atas Obat-obatan”, mengungkapkan beberapa alternatif strategi yang dapat dilakukan pemerintah untuk melindungi pengetahuan tradisional di Indonesia, khususnya obat-obatan tradisional. Menurutnya, selain melalui sistem perundang-undangan nasional, strategi itu juga meliputi upaya pendokumentasian pengetahuan tradisional dan mekanisme benefit sharing yang tepat antara masyarakat lokal dengan pihak asing.

Pengetahuan tradisional dapat dilindungi dengan perundang-undangan sistem Sui Generis atau mandiri di luar HKI. Ignatius Subagjo dari BPPT mengemukakan pengetahuan tradisional memiliki karakter yang unik dan holistik. Pengetahuan tradisional tidak hanya memiliki nilai ekonomis, tapi juga bernilai magis dan kultur. Hal itu yang membuat beberapa negara seperti Thailand, Filipina dan Costa Rica memilih sistem Sui Generis untuk mengatur pengetahuan tradisional mereka sehingga dapat memberikan perlindungan secara lebih komprehensif.

Melihat karakteristik yang berbeda antara HKI dan pengetahuan tradisional, maka akan sulit perlindungan pengetahuan tradisional dimasukkan dalam perundang-undangan HKI. Perlindungan bagi pengetahuan tradisional yang paling memungkinkan dilakukan pemerintah Indonesia sekarang adalah dengan memperkuat database atas pengetahuan tradisional yang ada di Indonesia, hal ini digunakan sebagai dasar bahwa pengetahuan tradisional tersebut memang menjadi milik Indonesia sehingga ketika ada pihak lain yang mengklaim Indonesia sudah mempunyai dasar yang kuat untuk menolak. Selain itu perlindungan dengan mekanisme benefit sharing bisa menjadi alternatif dengan mekanisme yang disepakati oleh para pihak sebelum pemerintah mengesahkan RUU Sui Generis Perlindungan terhadap Pemanfaatan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Folklor yang sekarang masih menjadi agenda DPR.

 

Referensi

 

Agus Sardjono, 2005. Potensi Ekonomi dari GRTKF; Peluang dan Hambatan dalam Pemanfaatannya: Sudut Pandang Hak Kekayaan Intelektual, Media HKI Vol. I/No.2/Februari 2005.

 

_____, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional. Bandung, PT Alumni.

 

Budi Agus Riswandi dan M. Syamsuddin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.

 

Muhammad Djumhana. 2006. Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Bandung. PT Citra Aditya Bakti.

 

Tantono Subagyo, Meraih Masa Depan Bermodalkan Kekayaan Masa Lalu (Perlindungan Dan Pengembangan Sumber Daya Genetika, Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Folklore Di Negara-Negara ASEAN, Media HKI, Vol. II/No.5/Oktober 2005.